Tugas PTIK Pertemuan Ke-3
Nama : Reza Kurniawan
NIM : 12200012
Kelas : 12.1B.11
Mata Kuliah : Pengantar Teknik Informatika Dan Informasi
Nama Dosen : Sepriandi Parningotan S.T.,M.T.
1. Sejarah Revolusi Industri dari 1.0 hingga 4.0
Jika mengacu pada Wikipedia, revolusi industri sejatinya telah dimulai pada abad ke-18 atau sekitar tahun 1750-1850, ketika perubahan secara besar-besaran terjadi di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi. Kala itu, hidup masyarakat berubah secara dramatis berkat adanya kereta api lintas benua, mesin uap, listrik, dan penemuan-penemuan lainnya. Bukan saja di bidang ekonomi, tetapi juga politik, sosial, dan budaya, dan ini bersifat global.
Revolusi Industri sendiri awalnya bermula dari Britania Raya, sebelum akhirnya menyebar ke seluruh Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan menyebar ke seluruh dunia. Saat itu, proses produksi atau jasa yang awalnya sulit, memakan waktu lama, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit berubah menjadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah.
Jika dihubungkan dengan konsep ekonomi, yang membicarakan upaya manusia dalam menghadapi kelangkaan, konsep Revolusi Industri adalah salah satu cara untuk mengatasinya. Bahkan dengan adanya konsep ini, resiko kelangkaan tersebut dapat diturunkan atau bahkan dihilangkan. Dengan begitu, sebagaimana dilansir dari laman binus.ac.id, tenaga, waktu, dan biaya yang sebelumnya cukup besar dibutuhkan, bisa ditiadakan, dikurangi atau dialihkan ke hal lainnya.
Nah, sekarang waktunya menjawab kenapa yang ada adalah Revolusi Industri 4.0, dimana Revolusi Industri 1.0 hingga Revolusi Industri 3.0?
Revolusi Industri Pertama (1.0)
Masa-masa sebelum Revolusi Industri terjadi adalah masa dimana manusia hanya bisa mengandalkan tenaga otot, tenaga air, ataupun tenaga angin untuk memproduksi barang atau jasa. Ini tentu saja bukan perkara mudah, apalagi mengacu pada fakta bahwa semua tenaga itu tidak tersedia sebanyak-banyaknya di luar sana, atau dengan kata lain terbatas. Manusia, sekuat apapun dia, pasti membutuhkan istirahat. Dan ini merupakan bentuk non-efisiensi waktu dan tenaga.
Untuk mengatasi ini, berbagai upaya dilakukan, termasuk menciptakan mesin. Revolusi Industri pertama ditandai dengan dikembangkannya mesin uap oleh James Watt pada abad ke-18, serta diciptakannya mesin-mesin bertenaga air. Saat itu, pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan oleh manusia pun mulai dialihkan menggunakan mesin uap.
Sektor industrialisasi berkembang dengan cepat, produksi barang kebutuhan masyarakat bisa diproduksi dengan lebih mudah dan secara massal. Pada era ini, perubahan masif di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi pun terjadi.
Sejarah mencatat, Revolusi ini berhasil mendongkrak perekonomian, dimana selama dua abad setelah Revolusi Industri Pertama terjadi peningkatan rata-rata pendapatan perkapita Negara-negara di dunia menjadi enam kali lipat. Revolusi Industri 1.0 berakhir pertengahan tahun 1800-an.
Revolusi Industri Kedua (2.0)
Revolusi Industri Kedua (2.0) dikenal juga sebagai Revolusi Teknologi. Revolusi yang dimulai pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 ini ditandai dengan hadirnya tenaga listrik.
Jika kita kembali ke Revolusi Industri Pertama, saat itu sebenarnya proses produksi sudah cukup berkembang, namun ada kendala dalam hal produksi. Dalam hal ini terkait alat transportasi, yang dipercaya akan dapat memudahkan proses produksi di dalam pabrik yang umumnya cukup luas. Untuk diketahui, sebelum Revolusi 2.0, proses perakitan mobil harus dilakukan disatu tempat yang sama demi menghindari proses transportasi dari tempat spare part satu ke tempat spare part lainnya.
Revolusi lalu terjadi dengan terciptanya “lini produksi” atau assembly line yang menggunakan “ban berjalan” atau conveyor belt pada 1913. Hal ini berakibat pada perubahan proses produksi, karena untuk menyelesaikan satu mobil kini tidak lagi diperlukan satu orang untuk merakit dari awal hingga akhir. Para perakit mobil dilatih untuk menjadi spesialis yang mengurus satu bagian saja.
Revolusi industri kedua tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi dan sosial, tetapi juga kondisi militer. Pada perang dunia II, ribuan tank, pesawat, dan senjata diciptakan dari pabrik-pabrik yang menggunakan lini produksi dan ban berjalan.
Revolusi Industri Ketiga (3.0)
Jika mesin uap menjadi pemicu bergulirnya revolusi industri jilid satu, dan tenaga listrik menandai kedatangan revolusi industri kedua, ada apa dibalik revolusi industri 3.0? Tidak lain dan tidak bukan perkembangan semikonduktor dan proses otomatisasi industri. Di tahap ini, komputer dan robot menjadi aktor utama, menandai mulai masuknya manusia ke era digitalisasi.
Di satu sisi, apa yang terjadi di akhir abad ke-20 ini adalah hal yang baik. Otomatisasi dan digitalisasi yang terjadi di tahap ini memudahkan pekerjaan manusia, sehingga tidak lagi membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan dan menghasilkan sebuah produk. Namun di sisi lain, hal ini juga berdampak buruk, karena berpotensi menggantikan peran manusia, dan memang itulah yang terjadi kemudian.
Pada revolusi industri ketiga, manusia tidak lagi memegang peranan penting. Abad industri pun pelan-pelan berakhir, sebagai gantinya dimulailah abad informasi. Perkembangan teknologi telekomunikasi selular yang begitu pesat mempercepat proses transformasi menuju Revolusi Industri Keempat.
Revolusi Industri Keempat (4.0)
Penemuan internet pada akhir-akhir revolusi industri ketiga menjadi dasar dari terbukanya gerbang menuju Revolusi Industri 4.0. Pada tahap ini, teknologi manufaktur sudah masuk pada tren otomatisasi dan pertukaran data. Hal ini mencakup sistem siber-fisik, internet of things (IoT), komputasi awan, dan cognitive computing. Singkatnya, revolusi industri 4.0 menanamkan teknologi cerdas yang dapat terhubung dengan berbagai bidang kehidupan manusia.
Pada tahap ini, manusia telah menemukan pola baru ketika disruptif teknologi (disruptivetechnology) hadir begitu cepat dan mengancam keberadaan perusahaan-perusahaan yang telah berjaya bertahun-tahun. Sejarah mencatat, revolusi industri ini telah menelan banyak korban dengan matinya perusahaan-perusahaan raksasa. Ukuran perusahaan bukan lagi jaminan disni, melainkan kreativitas dan inovasi.
Sebagian dari kita mungkin tidak pernah berpikir bahwa bisnis angkutan umum, khususnya ojek, bisa jadi sedemikian besar bukan? Hadirnya transportasi dengan sistem ride-sharing seperti Go-Jek dan Grab adalah buktinya. Revolusi industri 4.0 bukan saja usaha baru, ini juga menciptakan lapangan kerja baru, dan profesi baru yang tak terpikirkan sebelumnya.
(sumber : https://www.kelaspintar.id/blog/edutech/sejarah-revolusi-industri-dari-1-0-sampai-4-0-1088/)
2. Peluang dan Tantangan Transformasi Digital dalam Revolusi Industri 4.0
Belakangan ini, istilah Revolusi Industri 4.0 makin sering diperbincangkan. Wacana pengembangan industri yang mengedepankan prinsip Internet Of Things ini mulai tampak geliatnya melalui pertumbuhan pesat perusahaan rintisan atau startup.
Berdasarkan data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), pertumbuhan startup dalam kurun waktu 5 tahun menyentuh jumlah persentase yang signifikan.
Pada 2018, jumlah perusahaan startup yang terdaftar mencapai angka 956, jauh lebih banyak dibandingkan data tahun 2015 yang hanya berjumlah 52 perusahaan. Kesuksesan startup lokal berstatus unicorn seperti Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak memiliki peran krusial dalam membangkitkan semangat pebisnis untuk mendirikan perusahaan berbasis teknologi.
Pertumbuhan perusahaan rintisan yang pesat ini tentu memberikan gambaran masa depan era digital dan ekonomi yang menjanjikan. Di balik peluang yang menggiurkan, tentu ada tantangan yang wajib disiasati para pelaku bisnis. Lantas, seperti apa peluang dan tantangan di era Revolusi Industri 4.0?
1. Peluang Bisnis Berskala Global Terbuka Lebar
Berkat kemajuan teknologi yang pesat, kini kita dapat merambah bisnis hingga pasar internasional. Saat ini bahkan kita sudah dapat melakukan transaksi jual-beli dengan konsumen maupun pedagang dari berbagai negara melalui marketplace online.
2. Setiap Orang Memiliki Akses untuk Terlibat dalam Industri Digital
Rasanya, hampir semua orang kini dapat membeli ponsel pintar. Akses internet pun tak lagi sulit dinikmati warga yang tinggal di pelosok daerah. Kemudahan akses perangkat digital ini tentu membuka peluang besar bagi setiap orang untuk terlibat aktif dalam meramaikan pasar industri digital.
3. Arus Informasi Cepat
Masyarakat dapat memperolah informasi terkini dengan lebih cepat berkat akses internet. Akses informasi yang cepat dan melimpah tentu dapat memberikan manfaat bagi setiap pengguna. Sayangnya, bukan hanya dampak positif, kebiasaan resharing yang tak bertanggung jawab juga turut menyumbang tersebarnya berita bohong atau hoax.
4. Perubahan Pola Konsumsi Berbasis Otomatisasi Teknologi
Kompetisi di Revolusi Industri 4.0 tak sekadar manusia vs. mesin. Tenaga kerja pun kini harus bersaing dengan perangkat komputer yang dibekali kecerdasan artifisial. Untuk industri perbankan, misalnya, banyak yang memprediksi akan ada pemangkasan tenaga kerja hingga 30% dalam lima tahun ke depan.
Belum lagi pertumbuhan perusahaan fintech yang kian melesat beberapa tahun terakhir. Bukan tidak mungkin transaksi perbankan konvensional akan tergantikan sepenuhnya oleh platform.
Hal ini menandakan bahwa perubahan pola konsumsi berbasis otomatisasi teknologi memang semakin memudhkan pengguna. Namun di sisi lain turut mematikan industri atau pekerjaan tertentu.
5. Jumlah Tenaga Ahli yang belum Memenuhi Kebutuhan Perusahaan
Kebutuhan tenaga kerja yang memiliki keahlian terus meningkat. Sayangnya, keterampilan tenaga kerja Indonesia dinilai belum siap untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0, mengingat sekitar 70% tenaga kerja memiliki pendidikan setara SMP.
Pendidikan berbasis keterampilan dan kejuruan yang sesuai dengan target Revolusi 4.0 mutlak dibutuhkan demi memaksimalkan penyerapan tenaga kerja di masa yang akan datang.
Revolusi Industri 4.0 bukan hanya monopoli perusahaan besar. Industri kecil dan menengah pun wajib menerapkan teknologi agar dapat bersaing di pasar bebas. Salah satu cara industri kecil untuk mengejar kemajuan di era Revolusi Industri 4.0 adalah dengan mengimplementasikan perangkat berbasis teknologi untuk merekam seluruh data keuangan serta memudahkan penghitungan pajak.
(sumber : https://finata.id/tantangan-dan-peluang-di-era-revolusi-industri-4-0/)
3. Apa yang menjadi Penyebab utama terjadinya transformasi digital
Apa yang mendorong transformasi digital?
Ada dua hal saling terkait yang menyebabkan transformasi digital. Pertama, kemunculan internet yang menjadi populer pada akhir era ‘90-an sampai awal 2000-an. Hadirnya teknologi ini menyebabkan arus informasi bertambah deras. Arus informasi ini memiliki efek candu bagi manusia dimana jika kita sudah terbiasa terpapar oleh informasi, kita merasa ingin menambah ‘dosis’ informasi yang kita terima atau minimal tidak ingin ‘dosis’ informasi yang biasa kita terima berkurang. Walaupun begitu, faktor ini hanya sebagai awalan saja. Masih ada masalah-masalah yang menghambat transformasi digital yaitu infrastruktur dan perangkat. Seperti yang kita tahu saat itu koneksi internet hanya mengandalkan kabel tembaga saja dan tidak setiap rumah memiliki koneksi tersebut. Bukan hanya itu saja, internet juga hanya bisa dinikmati melalui perangkat PC maupun Laptop dan percayalah laptop saat itu masih terlalu berat untuk bisa dikatakan sebagai perangkat portabel sehingga kita masih menolak untuk membiarkan internet merenggut seluruh waktu yang kita punya dalam sehari. Mata siapa yang tak lelah memandangi layar monitor yang kebanyakan masih berjenis CRT selama 8 jam atau bahkan lebih.
Kedua, kemajuan teknologi komunikasi selular yang berhasil membawa koneksi internet tersebut ke dalam genggaman kita. Teknologi ini juga didukung oleh kemajuan teknologi chipset yang membuat telepon genggam yang sekarang disebut smartphone memiliki kemampuan komputasi yang lebih tinggi dalam memproses data dan menjalankan program layaknya sebuah komputer. Smartphone inilah yang berfungsi menjadi gerbang masuknya teknologi ke kehidupan dan aktivitas kita sehari-hari, di manapun dan kapanpun. Celah ini kemudian dimanfaatkan sejumlah inovator dan mengembangkan bisnis baru yang mereka ciptakan dengan cara yang juga baru. Jika kita amati, hadirnya start up kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda. Seperti yang kita ketahui bahwa anak-anak muda ini adalah golongan early adopter di mana mereka sangat menerima perubahan (disrupsi) bila dibandingkan dengan golongan tua yang lebih konservatif.
(sumber : https://inixindojogja.co.id/transformasi-digital-penyebab-kepunahan/)
4. Bagaimana berjalannya suatu Digital Economy pada Industri
Ekonomi digital mengacu pada ekonomi yang didasarkan pada teknologi komputasi digital, meskipun kita semakin melihatnya sebagai menjalankan bisnis melalui pasar berbasis internet dan World Wide Web . Ekonomi digital juga disebut sebagai Ekonomi Internet , Ekonomi Baru , atau Ekonomi Web . Ekonomi digital semakin terkait dengan ekonomi tradisional, membuat penggambaran yang jelas semakin sulit. Ini dihasilkan dari miliaran koneksi online setiap hari antara orang-orang, bisnis, perangkat, data, dan proses. Ini didasarkan pada keterkaitan orang, organisasi, dan mesin yang dihasilkan dari Internet , teknologi seluler, dan internet of things (IoT).
Ekonomi digital ditopang oleh penyebaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di semua sektor bisnis untuk meningkatkan produktivitasnya. Transformasi ekonomi digital merongrong gagasan konvensional tentang bagaimana bisnis disusun, bagaimana konsumen mendapatkan layanan, informasi dan barang dan bagaimana negara perlu beradaptasi dengan tantangan regulasi baru ini.
Ekonomi Digital juga disebut sebagai Ekonomi Baru yang mengacu pada Ekonomi di mana teknologi komputasi digital digunakan dalam Kegiatan Ekonomi.
Istilah 'Ekonomi Digital' pertama kali disebutkan di Jepang oleh seorang profesor dan ekonom riset Jepang di tengah resesi Jepang pada 1990-an. Di barat istilah tersebut diikuti dan diciptakan dalam buku Don Tapscott tahun 1995, The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence . Ini adalah salah satu buku pertama yang mempertimbangkan bagaimana Internet akan mengubah cara kita berbisnis.
Menurut Thomas Mesenbourg (2001), tiga komponen utama dari konsep 'Ekonomi Digital' dapat diidentifikasi:
•Infrastruktur bisnis elektronik (perangkat keras, perangkat lunak, telekomunikasi, jaringan, sumber daya manusia, dll.),
•E-bisnis (bagaimana bisnis dilakukan, setiap proses yang dilakukan organisasi melalui jaringan yang dimediasi komputer),
•E-commerce (transfer barang, misalnya saat buku dijual secara online).
Bill Imlah berkomentar, aplikasi baru mengaburkan batasan ini dan menambah kerumitan; misalnya, media sosial dan pencarian Internet.
Dalam dekade terakhir abad ke-20. Nicholas Negroponte (1995) menggunakan metafora pergeseran dari pemrosesan atom ke pemrosesan bit. "Masalahnya sederhana. Ketika informasi terwujud dalam atom, ada kebutuhan untuk semua jenis sarana era industri dan perusahaan besar untuk pengiriman. Tapi tiba-tiba, ketika fokus bergeser ke bit, orang-orang besar tradisional tidak lagi dibutuhkan. Penerbitan do-it-yourself di Internet masuk akal. Ini tidak untuk salinan kertas. "
Dalam ekonomi baru ini, jaringan digital dan infrastruktur komunikasi menyediakan platform global di mana orang dan organisasi menyusun strategi, berinteraksi, berkomunikasi, berkolaborasi, dan mencari informasi. Baru-baru ini, Ekonomi Digital telah didefinisikan sebagai cabang ekonomi yang mempelajari barang tidak berwujud biaya marjinal nol melalui Net.
(sumber : https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Digital_economy&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp&prev=search)
Komentar
Posting Komentar